Selamat jalan Bu Ana…………………
Sore yang begitu indah. Guratan cahaya mentari menyapu lazuardi di ufuk barat. Warna cahayanya kuning keemasan dengan garis-garis putih yang terurai rapi. Di angkasa , awan-awan kecil berjalan perlahan mengikuti irama alam yang didendangkan oleh seluruh komunitas jagad persada. Kemudian seperti ada yang mengomando, awan-awan tersebut saling berkelompok satu sama lain membentuk sebuah pola yang kadang teratur, kadang pula sulit ditafsirkan dengan kata-kata. Sepoi angin berhembus perlahan, memainkan daun-daun kamboja putih yang tumbuh menyendiri di tengah rerumputan yang hijau. Pohon itu terlihat kukuh dan tegap berdiri walau panas dan hujan silih berganti menghampiri. Mahkota bunganya yang berwarna putih dikombinasi warna merah dan sedikit kuning di bagian ujungnya membuat terpana siapa yang melihatnya. Pohon yang hebat……….di sebelah kanan tempatku duduk bersila, segerombolan burung gereja berduyun-duyun mencari makanan untuk bekal ketika malam tengah berkuasa. Diantara mereka ada yang berparuh tipis menikung disertai warna bulu yang terlihat lebih elok dari yang lain. Burung itu terlihat cantik dengan ekornya yang meruncing dan tampak begitu lincah. Di arah yang berlawanan, terlihat sepasukan lebah madu yang dipimpin seekor lebah ratu menyerbu bunga-bunga melati yang baru saja merekah. Bunga-bunga melati itu menabur bau yang begitu wangi seperti wangi parfum casablanka yang dijual di toko-toko kios pasar. Mereka terlihat asyik dan begitu menikmati sajian yang dihidangkan oleh Allah SWT, Sang Maha Memiliki segala apa yang di langit dan bumi. Meskipun demikian, kehadiran burung-burung gereja dan pasukan lebah madu dengan sang ratunya tak sedikitpun mengganggu kekhusukanku untuk melantunkan doa-doa suci yang kuhadiahkan kepada seseorang yang begitu berarti bagiku. Seorang Perempuan yang dengan tulus ikhlas mendidik dan mengajariku tentang arti sebuah kehidupan. Seorang kakak yang dengan kelembutan dan keramahannya telah mengubah watak keras ku menjadi pribadi yang lebih mau memahami orang lain. Seorang Guru yang selalu memberikan semangat dan dorongan ketika kepayahan sedang melandaku. Bu Ana Ulfiana , Itulah nama perempuan mulya itu. Hidupnya yang bersahaja dan prinsip hidup yang beliau pegang membuatku ingin seperti beliau. Aku begitu kagum dengan kedermawanan dan kelincahannya dalam memecahkan masalah. Bu Ana sudah berkeluarga. Pak Hendra Sebastian pemilik “ Alfa.com “ adalah suaminya. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama” Ilyas Mubarok “. Walau Aku dan Bu Ana terpaut 10 tahun, beliau tak pernah menganggapku sebagai anak kecil yang semuanya serba salah. Setiap pendapat yang kuutarakan kepada beliau selalu dihargai , tak pernah ditampik ataupun dipandang sebelah mata. Baru sekitar 3 tahun aku kenal dan akrab dengan Bu Ana, namun sudah begitu banyak kebaikan dan ilmu yang beliau berikan. Beliau selalu siap membantuku jika permasalahan datang mendera. Aku sendiri tak tahu, kenapa beliau begitu baik padaku?. Seingatku beliau pernah berkata kalau Beliau sudah menganggapku seperti adiknya sendiri. Aku sungguh bersyukur karena dipertemukan dengan seseorang yang berhati mulya seperti Bu Ana. Namun………………… ada satu hal yang sampai saat ini menyesakkan dadaku. Belum sempat ku membalas semua kebaikan hati Bu Ana, Malaikat Izroil telah lebih dulu menghampiri dan mengantarkan beliau ke alam keabadian menghadap Allah Azza Wajalla. Di sini, di depan tempatku duduk bersila, sepasang batu nisan berwarna biru keabu-abuan berdiri tegak dengan tanah yang masih basah. Di situ beliau beristirahat dengan tenang dari kepenatan dunia. Kupandangi lekat-lekat batu nisan itu tanpa menghentikan lantunan surat yasin yang sudah sekitar 5 menit yang lalu kumulai. Ku fasihkan bacaanku. Kurenungi huruf demi huruf, ayat-demi ayat , berharap agar doa-doaku sampai kepada beliau. Suasana terasa hening walau banyak sekali peziarah waktu itu, Aku pun larut dalam kekudusan. Tanpa kusadari butiran-butiran bening menetes perlahan dari pelupuk mataku. Air mata ku pun tumpah membasahi pipi, Namun segera kuusap. Dengan sekuat tenaga kutenangkan kembali hatiku. Aku teringat akan sebuah hadits Nabi yang berbunyi bahwa mayit disiksa dalam kubur juga disebabkan oleh seberapa jauh mayit itu diratapi. Aku tak ingin itu terjadi pada Bu Ana. Aku berusaha menenangkan hati dengan memperkuat niatku. “ Aku kesini bukan untuk meratapi kepergian Bu Ana, Tapi untuk mendoakan beliau “ Ucapku dalam hati. Kupejamkan mata dan kufokuskan pikiran . Seketika Keheningan kembali menelusup dalam sanubariku, dan kekhusukanpun kembali menyelimuti jiwaku. Di sela-sela lantunan doaku, sekelebat memori masa silam menguasai alam pikiranku. Memori-memori yang tak kan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
“ An, Tahukah kamu tentang arti hidup ini ? “ Tanya Bu Ana sembari menyunggingkan senyum tipis di pipinya. Sebenarnya nama asliku Ardiansyah, tapi Bu Ana senang memanggilku dengan nama Aan, Katanya lebih ringan dan cocok untukku.
“ Ee………………? tidak tahu !” Kugelengkan kepala tanda ketidak tahuanku.
“ Begini,………….” Bu Ana mengubah posisi duduknya agar aku bisa mendengarkan penjelasan beliau dengan nyaman.
“ Hidup itu untuk memberi, memberikan segala apa yang kita punya untuk orang-orang di sekitar kita, bukan untuk menuntut “ Ucap Bu Ana singkat dengan senyum tipis masih tersungging di pipinya.
“ Maksudnya Bu? Aku belum mengerti “.
“ An, Dimanapun kita, bagaimanapun keadaan kita, dalam kondisi apapun, berusalah memberikan manfaat untuk orang-orang di sekitar kita, baik orang itu saudara kita, sahabat atau bahkan orang itu musuh kita, tanpa ada pamrih apapun kecuali megharap ridho dari Allah. Dan jangan sekali-kali kita menuntut orang lain agar bertindak dan melakukan sesuatu yang harus sesuai dengan keinginan kita tanpa memperhatikan kebutuhan mereka” Jelas Bu Ana panjang lebar.
“ Jadi intinya, kita harus berbuat baik kepada siapapun tanpa membeda-bedakan ya Bu ?” Aku berusaha menyimpulkan penjelasan Bu Ana.
“ Yup, seratus untukmu, kamu memang pintar “ Puji Bu Ana sambil mengacungkan jari jempolnya
“ Ah, Ibu Bisa aja “
“ Kemudian saat menjelang tidur, biasakan untuk bertanya pada diri kita sendiri “ Apakah yang sudah saya lakukan untuk memberi mnfaaat pada orang lain hari ini ?. An……..Semua itu kita lakukan agar hidup kita di dunia ini ada artinya, bermanfaat untuk orang-orang disekitar kita. Hidup ini kan Cuma sekali, marilah kita buat sebaik mungkin agar kita tidak menyesal di hari selanjutnya.“ Tambah Bu Ana.
“ Iya Bu, Bu ana memang benar. Insya Allah aku akan berusaha melakukan apa yang Bu Ana ajarkan ”
************************************
“ Pak Ardian, sebenarnya kamu bisa kerja nggak sih, Buat laporan saja nggak kelar-kelar, apa saja kerjamu di kantor ? “ Teriak Bu Meysih, Kepala Sekolah dimana aku mengajar , memarahiku habis-habisan.
“ Sebenarnya kemarin laporannya sudah saya buat dan sudah selesai, tinggal ngeprint saja. Tapi tidak tahu kenapa, tadi pagi waktu mau saya print tiba-tiba filenya tidak ada, sudah saya cari-cari tidak ketemu. Mungkin komputernya kena virus….” Jawabku menjelaskan apa yang tejadi.
“ Alasan saja, pokoknya saya tidak mau tahu, besok laporan itu sudah harus ada di meja kerja saya” Suara Bu Meysih semakin meninggi.
“ Tapi……………”
“ Tidak ada tapi-tapian !!!” Bu Meysih berlalu dari hadapanku dengan raut wajah yang sangat seram. Di ruangan berukuran 8 X 8 meter ini, Aku duduk diam sendirian di sudut ruangan, sedang guru-guru yang lain masih berada di kelasnya masing-masing. Kucoba memutar otak ,mencari cara bagaiamana bisa menyelesaikan laporan itu secepatnya. Kucoba dan terus kucoba tapi belum juga kudapati solusinya.
“ Ada apa, An. Kok kayaknya tadi Bu Meysih marah-marah sama kamu ? “ Suara Bu Ana membuyarkan ketegangan dalam pikiranku. Ternyata sejak tadi Bu Ana duduk diteras depan. Beliau hendak masuk ruang guru untuk mengambil daftar absensi siswa yang ketinggalan, tapi ketika melihat Bu Meysih memarahiku beliau menghentikan langkah dan duduk di teras. Setelah Bu Meysih keluar, Beliau baru masuk ke ruang guru dengan membawa map plastik berisi modul bahasa inggris dan beberapa gambar peraga yang beliau gunakan untuk mengajar. Hari ini Bu Ana mengenakan setelan baju batik berwarna merah bermotif bunga kenanga dengan bawahan celana panjang yang semotif dengan atasannya. Beliau kelihatan anggun mengenakan baju itu.
“ Tadi pagi ketika aku hendak mencetak laporan data siswa yang harus segera kukirim ke dinas Pendidikan, tiba-tiba fileku tidak ada. Padahal kemarin aku sudah yakin menyimpannya di komputer. Mungkin kena virus………..” Jawabku dengan nada lemas.
“ Memang datanya banyak “
“ Tidak hanya banyak Bu, super banyak malahan………….. Untuk menyelesaikannya membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari. Parahnya lagi date linenya besok pagi. Aku tidak tahu harus bagaimana? “ Ujarku dengan nada memelas.
“ Begini saja, nanti malam habis Sholat isya’ kamu ke rumahku sambil membawa skrip laporan yang harus kamu buat. Nanti aku dan Mas Hendra akan berusaha membantu menyelesaikan tugasmu itu. Kelihatannya nanti malam kami nganggur. Kalau dikerjakan bertiga kan cepat selesai “ Ujar Bu Ana menawarkan bantuan.
“ Benar Bu Ana sama Pak Hendra mau membantu ? “ Tanyaku kegirangan. Ada sedikit angin segar menaungi dadaku.
“ Insya Allah……………..” Bu Ana mengangguk pelan tanpa lupa mengulaskan senyum di pipinya.
“ Thanks Bu…”
***************************
Sudah hampir 3 minggu aku tidak main ke rumah Bu Ana. Biasanya paling sedikit satu minggu sekali aku main ke sana. Memang akhir-akhir ini aku sangat sibuk sekali. Pekerjaan kantor menumpuk, belum lagi kegiatan-kegiatan luar yang tidak bisa aku tinggalkan. Kangen rasanya dengan Bu Ana, Pak Hendra dan si kecik Ilyas yang gemuknya minta ampun. Walaupun Aku dan Bu Ana mengajar di satu sekolah yang sama, namun beliau hanya mengajar dua hari dalam satu minggu. Kebetulan di minggu-minggu ini, Bu Ana sering izin karena beliau ditugaskan oleh kepala sekolah untuk mengikuti pelatihan di Banyumanik semarang. Jadi kami sudah jarang ketemu. “ Kapan ya main ke rumah Bu Ana ? “ Tanyaku dalam hati.
Senja telah merayap memenuhi angkasa raya. Sang raja siang hendak pamit dan kembali keperaduannya digantikan bidadari malam yang pesonanya memikat setiap insan yang meilhatnya, dialah rembulan, sang dewi malam itu . Waktu tengah menunjukkan pukul 17.40 WIB. Hari ini rasanya malas sekali mau mandi. Udaranya sangat dingin. Walaupun begitu tetap kupaksakan untuk mengguyur tubuhku karena sudah seharian aku belum mandi. Kuambil handuk biru yang kemarin sore baru ku beli di ”Adista shop” bersama Jihan, keponakanku. Air kran mengalir perlahan dari ujung rambutku dan kontan Rasa dinginnya merasuk kesekujur tubuh melalui pori-pori kulit. Cepat-cepat aku keluar dari kamar mandi karena tak kuat menahan hawa dingin yang hampir menguasai seluruh organ tubuhku. kuambil Jaket kulit berwarna abu-abu yang terlipat rapi di almari kamar. Jaket itu pemberian ayahku sepulang dari Jakarta bulan lalu. Setelah berpakain rapi kucoba lihat telpon genggamku yang tergeletak di atas ranjam. Sejak tadi siang aku belum menyentuh benda itu sama sekali.
“ Wo…………ada 5 panggilan tak terjawab “ Bisikku dalam hati. Ku coba lihat didaftar panggilan. Ternyata Si Eko, teman sekaligus patner kerjaku.
“ Tumben dia call aku, tidak seperti biasanya. Ada apa ya ??????? ah paling-paling dia Cuma iseng …..” Pikirku. Tak lama kemudian HP ku kembali berdering. Dilayar HP tertulis “ Eko memanggil “.
“ Assalamu’alaikum …………” Suara Eko mengawali pembicaraan
“ Wa’alaikum salam, Kok tadi miss call sampai 5 kali ? ada apa ? “ Tanyaku penasaran.
“ Ada berita yang kurang baik “
“ Berita apa ?” Aku semakin penasaran.
“ Tadi aku di telpon Pak Gunawan kakaknya Bu Ana, Katanya Bu Ana dan Pak Hendra kecelakaan saat pulang dari semarang. Sekarang mereka dirawat di Rumah Sakit Edelwais, Semarang Timur. “ Bagai terkena geranat aku mendengar berita itu. Jantungku langsung berdetak begitu kencang tak tentu arah.
“ Terus bagaimana keadaan mereka ? “
“ Aku sendiri belum tahu, Pak Gunawan tidak cerita apa-apa. Beliau hanya menyuruhku segera ke rumah sakit sekarang, katanya mereka membutuhkan bantuan. Kamu mau ikut ke rumah sakit tidak ?
“ Ya ya, aku ikut…….’ Jawabku spontan.
“ Habis sholat maghrib ku jemput di rumahmu “
“ Oke, tak tunggu “
***************************
Pukul 20.30 WIB kami sampai di lokasi. Pak Gunawan sudah menunggu kedatangan kami di dekat pintu masuk rumah sakit.
“ Bagaimana keadaan Bu Ana dan Pak Hendra ? Terus bagaimana semua ini bisa terjadi?” Pak Gunawan kuberondong dengan berbagai pertanyaan.
“ Sudah nanti saja saya ceritakan, sebaiknya kita masuk dulu dan melihat keadaan beliau bersama-sama “ Ucap pak Gunawan menenangkanku.
5 menit berlalu dan Kami bertiga sampai diruangan yang kami tuju. “ Ruang Wijayakusuma Kelas VIP “ Itulah ruangan di mana Bu Ana dan Pak Hendra dirawat. Aku sudah tak sabar ingin melihat kondisi beliau berdua. Ketika kupegang gagang pintu, Kami dikagetkan oleh rintihan seorang perempuan yang memanggil-manggil nama seseorang. Rintihan itu makin lama makin keras dan makin keras, seolah-olah tak kuasa terhadap apa yang sedang dideritanya. Hatiku bagai disayat-sayat pisau mendengar rintihan itu. Dan yang Lebih membuat hatiku getir, jeritan itu berasal dari dalam ruangan. “ Apa yang terjadi dengan Bu Ana dan Pak Hendra ? Rasa takut semakin menguasai jiwaku.. Ku beranikan diri untuk masuk. Kulihat Pak Hendra duduk di kursi kayu berbusa yang bergambar dua ekor kuda terbang. Beliau tampak segar dan tak terlihat sedikitpun goresan luka di tubuhnya. Hatiku terasa sedikit lega. Tapi perasaanku berbalik 180 derajat ketika melihat kondisi Bu Ana yang tak kuasa aku melihatnya. Kaki kirinya penuh dengan darah segar yang tak henti-hentinya keluar. Meskipun dokter sudah mengikatnya dengan kain kasa putih, namun kain itu hanya mampu mengurangi jumlah darah yang keluar. Tidak hanya itu. Di kepala bagian belakang dekat telinga kanan juga terlihat darah segar yang keluar. Beliau berbicara sendiri tanpa arah, menayakan bagaimana keadaan Pak Hendra, padahal Pak Hendra sedang duduk disebelahnya dalam kondisi baik. Di saat seperti itu beliau masih memikirkan keadaan dan keselamatan orang lain dari pada keadaan beliau sendiri. Air matakupun jatuh tak tertahankan melihat kondisi beliau yang demikian parah itu. Pak Hendra dengan penuh ketegaran menunggui beliau disampingnya. Mulutnya komat kamit membaca ayat-ayat suci Al-Quran guna menenangkan Bu Ana. Aku tak mampu berbuat apa-apa melihat semua itu, hanya seserpih doa terulas dengan penuh ikhlas dari dalam hatiku “ Ya Allah, Selamatkan dan Sembuhkanlah Bu Ana agar aku dapat belajar kembali dengan beliau tentang arti kehidupan ini, Amin !!!!”. Ku ambil HP di saku kemejaku. Ku kabari semua guru dan teman-teman yang kenal dengan Bu Ana melalui pesan singkat. Seorang Dokter dengan pakaian serba putih memasuki ruangan dan memberi obat penenang kepada Bu Ana melalui suntikan. Berangsur-angsur beliau mulai tenang dan kemudian tertidur pulas seolah-olah tidak merasakan sakit apa-apa. Sang Dokter kemudian mengajak Pak Hendra keruangannya. Kelihatannya ada hal yang harus di sampaikan oleh Dokter itu kepada Pak Hendra. Sejenak setelah Pak Hendra meninggalkan ruangan, Keluarga Bu Ana yang terdiri dari Ibunda dan kedua adik beliau datang langsung dari Blora, Kota kelahiran Bu Ana. Mereka terkejut Histeris melihat kondisi Bu Ana yang penuh luka, lebih-lebih Ibunda beliau. Pak Gunawan selaku kakak tertua dalam keluarga Bu Ana berusaha menenangkan Ibu mereka yang sedang shock berat.
“ Bagaimana kejadiannya sampai-sampai semua ini bisa terjadi ?“. Tanya Bu Halimah, Ibunda Bu Ana ketika sudah merasa tenang.
“ Begini ceritanya. Saat pulang dari rumah Aisyah, teman Ana di daerah krapyak, Semarang, Ketika sampai didekat jembatan gubug, ban depan sepeda motor yang mereka kendarai tiba-tiba meletus. Sepeda motor oleng dan menabrak tembok dipinggir jembatan. Naasnya, ketika jatuh helm yang dipakai Ana lepas dan kepala nya terbentur tembok “. Pak Gunawan bercerita sambil menetaskan air mata. Bu Halimah pun tak kuasa menahan kesediahan atas kecelakaan yang dialami puteri satu-satunya itu. Air matanya tumpah memenuhi setiap sudut di wajahnya. Di elusnya rambut Bu Ana dengan penuh kasih sayang. Begitulah rasa kasih sayang seorang Ibu yang tiada tara besarnya. Hatiku trenyuh melihat adegan itu.
“ Assalamu’alaikum “ Suara Pak Hendra memecahkan kesunyian di rungan ini.
“ Wa’alaikumsalam “ Jawab kami semua hampir bersamaan.
“ Dari mana kamu dra ?” Tanya Bu Halimah sambil mengusap air matanya dengan tisu.
“ Dari ruangan dokter Jatmiko“. Nada bicara pak Hendra melemah. Seolah ada beban berat yang menindih beliau.
“ Terus apa kata dokter Jatmiko ? “ Pak Gunawan menambahi.
“ Ana harus segera dioperasi. Benturan dikepalanya harus segera ditangani. Namun yang harus lebih mendapatkan perhatian adalah luka di tungkai kirinya. Meskipun operasinya nanti berhasil, Ana……………………. “. Suara Pak Hendra terputus disitu. Terlihat ada guratan rasa cemas, bingung dan ketakutan dalam wajah lelaki berhidung mancung dengan kumis tipis yang tercukur rapi itu.
“ Ana kenapa? “ Tanya Bu Halimah dengan wajah penuh tanda tanya.
“ Akibat benturan keras di kepala dan kakinya, Ana akan mengalami amnesia atau lupa ingatan dan cacat seumur hidup “. Kata-kata Pak Hendra membungkam mulut semua orang yang ada di ruangan ini. Shock………itulah yang sedang menimpa kami . Tubuh kami lemah serasa tak punya tenaga. Tanpa bisa dihalau, air mata kami tumpah mengiringi kesedihan atas nasib buruk yang menimpa Bu Ana. Bu Halimah limbung dan jatuh tak sadarkan diri.
*******************
Siang ini Bu Ana akan menjalani operasi. Aku dan Eko sudah janjian untuk bersama-sama pergi ke rumah sakit, mendoakan dan memberi semangat kepada sang Malaikat ku itu. Sepulang dari sekolahan kami segera menuju ke sana. Dengan Supra X 125 kami melaju kencang, menyusuri setiap ruas jalan beraspal yang penuh dengan lalu lalang para pengguna fasilitas umum itu. Jarak yang kami tempuh lumayan jauh, sekitar 75 Km atau 2 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ku lafadzkan surat Al-fatihah yang kuhadiahkan kepada Bu Ana, berharap semoga opersi yang akan beliau jalani berjalan sukses dan beliau segera sembuh seperti sedia kala. “ Seiko “ di tangan kiriku tengah menunjukkan pukul 11.45 WIB dan tepat jam 14.00 WIB nanti operasi akan dilaksanakan. Aku menyuruh Eko untuk mempercepat laju kendaraan. Aku tak ingin ketinggalan moment yang begitu penting ini. Moment dimana seseorang yang begitu banyak berjasa terhadap diriku, bertarung melawan maut. Sesuai perkiraan, Pukul 13.45 kami sampai di tempat tujuan. Tanpa pikir panjang kami langsung menuju ke ruangan Bu Ana. Kami berjalan dengan sedikit berlari. Bangsal demi bangsal kami lalui dan sampailah kami ke ruangan yang kami tuju. “ Syukurlah aku belum terlambat “ Bisikku dalam hati saat melihat Bu Ana masih di dalam ruangan. Dua orang perawat sudah ada di sana dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk operasi. Bu Ana tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Wajahnya begitu layu dan pucat. Namun Bola matanya masih bersinar begitu terang seperti temaram dalam gelapnya malam. Bu Halimah dan Pak Hendra dengan penuh kesetiaan menemani beliau di sampingnya.
“ Semuanya telah siap, operasi segera dimulai “ Ucap salah seorang perawat. Bu Halimah memeluk Bu Ana erat-erat. Seolah-olah tak ingin berpisah dengan beliau.
“ Bu, Mas Hendra dan semua yang ada di sini, tolong doakan Ana ya, semoga operasinya berjalan lancar ………….” Pinta Bu Ana sembari mengulas senyum di pipinya. Ketika dua orang perawat itu membawa Bu Ana ke ruang operasi, Aku dan Bu Ana sempat beradu pandang. Sinar matanya mengisyaratkan kepadaku agar aku jangan terlalu khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Itu makna yang kuserap dari tatapan beliau.
Sudah satu jam berlalu tapi operasi belum juga usai. Kami semua menunggu di luar ruangan dengan perasaan begitu cemas. Bu Halimah duduk lemas di bangku sebelah kanan ruang operasi. Di sampingnya Pak Gunawan beserta istrinya tertidur pulas karena sejak tadi malam mereka belum tidur. Pak Hendra pamit mau ke Mushola untuk sholat dzuhur sekaligus bermunajad kepada Allah, memohon agar semuanya berjalan lancar. Sedangkan Aku dan Eko duduk lesehan di lantai menemani si kecil Ilyas yang sedang tertidur pulas juga. Tak lama kemudian Seorang dokter bertubuh gemuk keluar dari ruang operasi.
“ Bagaimana operasinya dok ? “ Tanya Bu Halimah tak sabar.
“ Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, Tapi saat ini Bu Ana belum bisa diganggu. Beliau akan ditempatkan di ruang ICU dan hanya boleh dibesuk pada jam besuk saja “. Setelah memberi penjelasan, dokter itu pamit mohon diri.
” Alhamdulillah ............” Lirihku dalam hati.
**************************
Hari ini seluruh dewan guru SD IT Al-Azhar yang berjumlah 10 orang termasuk aku berencana menjenguk Bu Ana di rumah sakit Edelwais, Semarang Timur. Oleh sebab itu siswa-siswi dipulangkan pagi. Dengan mobil Avansa milik Pak Marwan, Guru Kesenian kami meluncur kesana. Setelah menjenguk beliau, kami mempunyai angan-angan ingin mampir di pantai Maron, itung-itung refresing setelah satu bulan penuh mempersiapkan akreditasi sekolah. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Bu Lina Guru kelas III terus membanyol. Beliau memang terkenal sebagai biangnya banyolan. Kata Bu Lina, Beliau akan merasa pusing kalau tidak melafadzkan kata-kata keramatnya itu. Lain Bu Lina lain Pak Arya. Pak Arya terkenal sebagai guru yang pendiam dan kurang gaul, tidak pernah neko-neko alias apa adanya. Meskipun begitu beliau tergolong guru yang smart dan patut diperhitungkan. Setiap ide yang beliau ajukan selalu brilian dan sukses. ” Air tenang menghanyutkan ” mungkin peribahasa itulah yang cocok untuk menggambarkan Pak Arya. Di tengah-tengah keasyikanku mendengarkan banyolan Bu Lina, tidak sengaja aku menoleh ke kanan dan melihat mobil ambulance yang berlawanan arah dengan mobil yang kami tumpangi. Tapi tak sedikitpun aku merespon. Aku kembali menyimak banyolan Bu Lina yang makin lama makin menggelitik saja. Pukul 11. 20 WIB kami sampai di Rumah Sakit Edelwais. Tidak seperti biasanya, hari ini rumah sakit Edelwais terlihat agak sepi. Kendaraan yang parkirpun jumlahnya sedikit. Tadi malam aku menelpon Pak Hendra. Beliau mengatakan kalau Kondisi Bu Ana semakin membaik. Bahkan beliau sudah bisa bersenda gurau dan sudah diizinkan untuk pindah ke ruangan beliau semula. Kabar itu membuaku semakin tak sabar ingin segera berjumpa dengan Bu Ana. Aku melangkah ke ruang Wijaya Kusuma, ruang dimana Bu Ana dirawat dengan hati yang girang. Kami tiba adi sebuah ruangan bercat hijau muda dengan design sederhana namun terlihat elok untuk dilihat. Keperpaduan antara ornamen-ornamen dengan perabot bisa dikatakan sangat pas. Di papan kecil yang tertempel di kusen pintu bertuliskan ” Wijaya Kusuma kelas VIP ”. Pasien yang dirawat di ruangan itu pastilah merasa sangat nyaman. Namun kami melihat ada sesuatu yang ganjil. Tidak seperti ruang-ruang yang lain, Ruangan itu kosong tak berpenghuni.
” Lho........kok kosong Pak Ardian? Kemana Bu Ana ?” Tanya Bu Meysih sambil mengernyitkan dahinya.
” Benar Pak ini Ruangan Bu Ana ?” Tambah Bu Lina
” Benar Bu, ini ruangannya. Tadi malam saya baru telpon Pak Hendra. Beliau mengatakan kalau Bu Ana sudah dipindahkan ke ruangan semula, Ruang Wijaya kusuma kelas VIP ” Jawabku menyakinkan.
” Coba tanya dulu, mungkin ada ruang wijaya kusuma lain selain ruang ini ” Pak Arya memberi masukan.
” Suster, Pasien yang dirawat di ruang ini kemana ya? ” Aku bertanya kepada seorang suster yang kebetulan melintas di depan kami. Kalau tidak salah dia adalah suster yang merawat dan melayani Bu Ana.
” Maksud Bapak Bu Ana Ulfiana yang kemarin menjalani operasi di tungkai kirinya ? ” Tanya Suster itu.
” Benar sus benar, ini ruangan beliau kan?
” Benar.....kemarin beliau sempat dipindahkan di ruang ini, tapi sekarang jenazahnya sudah diantarkan kerumahnya”
” Apa............................jenazahnya !!!!”. Bagai tersengat listrik 10.000 Volt aku mendengar ucapan suster itu. Sendi-sendiku mengerut dan mengendor tanpa kuperintah. Suara cicit-cicit burung di taman depan tak lagi dapat kudengar. Angin berhenti berhembus. Cahaya matahari meredup ditutupi awan hitam yang mengepul di kaki-kaki langit diikuti rintik-rintik hujan. Pikiranku kacau, sungguh kacau. Hal yang selama ini kutakutkan terjadi juga. Semua berdiri mematung Tanpa gerak sedikitpun. Hanya air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata kami. Hari ini kami telah kehilangan seorang yang begitu sangat berarti. Lebih-lebih aku. Bu Ana adalah pahlawan dalam hidupku. Kusandarkan tubuhku di tembok karena kakiku sudah tak kuat menopangnya. Ternyata mobil ambulance yang tadi berpapasan dengan mobil kami adalah mobil yang membawa jenazah Bu Ana menuju rumahnya.
” Bagaimana semua ini bisa terjadi Sus ? ” Tanya Pak Arya ingin tahu.
” Menurut penuturan dokter yang menangani Bu Ana, terjadi aglutinasi atau penggumpalan darah ditubuh Bu Ana. Selain itu Kanker yang bersarang di tubuhnya juga ikut menyerang. Tadi pagi sekitar pukul 06.00 WIB Beliau menhembuskan nafasnya yang terakhir”
” Kanker Sus ?”. Aku terperanjat kaget.
” Iya, sebelumnya Bu Ana sudah menderita Kanker rahim ”.
” Ya Allah kenapa Bu Ana tak pernah bercerita kalau beliau menderita kanker rahim?” Hatiku memelas sedih.
Suara adzan maghrib membuyarkan lamunanku. Tanpa kusadari ternyata sudah sekitar setengah jam aku duduk di dekat makam Bu Ana. Para peziarah pun juga sudah mulai pulang ke rumah masing-masing.
” Selamat Jalan Bu Ana, Semoga Allah menempatkanmu di sisiNya yang mulai, Amin!!!!!”.
*********************
Cerpen ini ditulis di desa Selo, Tanggal 27 Januari 2010 dan selesai tanggal 26 Maret 2010 pukul 14.50 WIB. Cerpen ini ku persembahkan untuk Bu Syarifa Ulya ” Semoga segala amal ibadah beliau diterima di sisiNya dan beliau tenang di alam keabadian,Amin.....!!
Oleh
Rochani
Ponpes Al-Hidayath Selo
Kec. Tawangharjo
Kab. Grobogan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar